MAKALAH PEMBINAAN DAN
PENGEMBANGAN SASTRA INDONESIA
“PENGAJARAN SASTRA DI SEKOLAH
BERBASIS KARAKTER”
![]() |
DISUSUN OLEH
KELOMPOK IV
KASMA (1451141004)
ADE IRMA (1451141001)
NUR FAUZIAH SAPUTRI (1451141003)
EDI HAMRAN (1451141005)
NUR FADLI (1451141008)
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kondisi masyarakat dewasa ini sangat
memprihatinkan. Perkelahian, pembunuhan, kesenjangan sosial, ketidakadilan,
perampokan, korupsi, pelecehan seksual, penipuan, fitnah terjadi di mana-mana.
Hal itu dapat diketahui lewat berbagai media cetak atau elektronik, seperti
surat kabar, televisi atau internet. Bahkan, tidak jarang kondisi seperti
itu dapat disaksikan secara langsung di tengah masyarakat.
Keprihatinan terhadap kondisi masyarakat
yang demikian itu, menumbuhkan semangat untuk mengkaji sebab dan mencari
pemecahannya. Penelitian dan seminar mengenai masalah tersebut telah
berkali-kali diselenggarakan oleh berbagai instansi, baik pemerintah maupun
swasta. Ujungnya adalah persamaaan persepsi terhadap pentingnya menggalakkan
pendidikan karakter.
Respon masyarakat terhadap pendidikan
karakter berbeda-beda. Di kalangan kelompok pendidik muncul pendapat
tentang perlunya pendidikan budi pekerti, sedangkan agamawan memandang
perlunya penguatan pendidikan agama. Mereka yang berkecimpung di bidang
politik mengusulkan revitalisasi pendidikan Pancasila. Dalam hal ini,
Kemendiknas telah merespon berbagai pendapat itu dengan membentuk Tim
Pengembang Pendidikan Karakter.
Selanjutnya, para guru terutama guru bahasa
dan sastra Indonesia ingin menyumbangkan pemikiran tentang perlunya pendidikan apresiasi sastra terhadap pembentukan karakter siswa. Melalui sastra diharapkan dapat terwariskan
nilai-nilai luhur kearifan lokal guna membendung pengaruh negatif era
globalisasi. Oleh karena itu,
sangatlah penting untuk diketahui tentang sejauh mana “Pengaruh Apresiasi Sastra terhadap
pengembangan Karakter Siswa”.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan
pembinaan, pengembangan dan
pendidikan karakter dan sastra itu?
2. Bagaimana hubungan sastra terhadap pendidikan karakter di
kalangan siswa?
3. Bagaimana pengaruh apresiasi sastra
terhadap karakter siswa?
4. Bagaimana memberdayakan
pembelajaran apresiasi sastra di sekolah?
5. Bagaimana
permasalahan pengajaran sastra di Sekolah ?
6. Bagaimana upaya yang bisa dilakukan
pendidik untuk
menanamkan pendidikan karakter melalui sastra?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian pembinaan,
pengembangan dan pendidikan karakter dan sastra.
2. Untuk mengetahui relevansi sastra terhadap
pendidikan karakter di kalangan siswa.
3. Untuk mengetahui pengaruh apresiasi sastra
terhadap karakter siswa.
4. Untuk mengetahui pemberdayaan pembelajaran apresiasi
sastra di sekolah.
5. Untuk mengetahui permasalahan pengajaran sastra
di sekolah
6. Untuk mengetahui upaya yang bisa dilakukan pendidik untuk menanamkan pendidikan karakter melalui sastra.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pembinaan, Pengembangan,
Pendidikan Karakter Dan Sastra
1.
Pembinaan
Alwi (2011) menyatakan dalam buku politik bahasa ”badan
pengembangan dan pembinaan bahasa kementrian pendidikan dan kebudayaan” yang
dimaksud dengan pembinaan ialah usaha untuk meningkatkan kualitas pemakaian
bahasa. Usaha-usaha pembinaan itu mencangkup upaya perbaikan sikap, pengetahuan
dan keterampilan berbahasa yang dilakukan, antara lain yang dilakukan ialah melalui
proses pengajaran dan pemasyarakatan.
Menurut ahli sasrta yang berasal dari kanada Northrop frye mengenai pembinaan sistem
sastra universal yang sangat berpengaruh dalam teori dan pendidikan sastra di
amerika serikat. sebenarnya sastra bukanlah sesuatu yang tidak mungkin terjadi,
yang biasanya hanya berupa karya semata. Dalam hal ini Northrop frye sangat setujuh dengan T.S Eliot yang pernah
mengatakan bahwa monumen sastra yang ada mewujudkan tata susun yang ideal satu
sama lain, jadi bukanlah hanya merupakan kumpulan karya sejumlah individu
karena itu kita memerlukan sebuah teori sastra yang prinsip-prinsipnya berlaku
untuk keseluruhan sastra dan dapat mempertanggung jawabkan setiap prosedur
kritik yang sah (Teeuw 2003: 96-97).
2.
Pengembangan
Dikutip dari Kbbi offline 1.5 menyatakan “pengembangan
ialah upaya meningkatkan mutu bahasa agar dapat dipakai untuk berbagai keperluan
dl kehidupan masyarakat modern”.
3. Pendidikan Karakter
Dalam Wikipedia
Indonesia menyatakan “Karakter atau watak adalah sifat batin yang mempengaruhi
segenap pikiran, perilaku, budi pekerti, dan tabiat yang dimiliki manusia atau makhluk hidup lainnya”
-
Pengertian
karakter menurut para ahli, adalah sebagai berikut:
Andyana (2014) ” Suyanto
(2009) mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang
menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam
lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun negara. Menurut Pritchard (1988: 467) mendefinisikan
karakter sebagai sesuatu yang berkaitan dengan kebiasaan hidup individu yang
bersifat menetap dan cenderung positif”.
4. Sastra
Dalam Wikipedia Indonesia menyatakan “sastra merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta
śāstra, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata
dasar śās- yang berarti “instruksi” atau “ajaran”. Dalam bahasa Indonesia kata
ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis
tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Selain itu dalam arti
kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis dan sastra lisan.
Maksud dari sastra lisan di sini ialah sastra yang tidak banyak berhubungan
dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk
mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu”
2.2 Hubungan Sastra terhadap Pendidikan Karakter di Kalangan Siswa
Ratna
(2010 : 444) Keterkaitan pendidikan terhadap sastra adalah terselenggaranya
keseluruhan ukuran yang berhubungan dengan aktivitas kreatif di
sekolah-sekolah, yang dimulai sejak taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi.
Pendidikan meningkatkan kualitas sumber daya. Baik terhadap seniman sebagi
pencipta atau pembuat karya maupun pembaca sebagai penikmat. Lembaga pendidikan
memperoleh kualitas pesan yang sangat berarti.
Dalam
Proses penciptaan karya sastra menurut A.A Navis dalam proses kreatifnya bahwa
sekolah merupakan sumber pendorong penciptaan karya sastra dan tempat
pengembangan bakat dan karakter, hal ini jelas terlihat dalam kutipan
“disekolah saya banyak berkesempatan untuk mengembangkan bakat, saya belajar
musik, belajar melukis, memahat patung, belajar bersandiwara dan sebagainya”
hal ini jelas bahwa sekolah merupakan tumpuan bagi seseorang belajar berkarnya,
dimana selain mempelajari teori juga melakukan
praktik dari teori tersebut. Dan bila gagal dalam membentuk pengembangan karakter yang positif dan unggul pada diri siswa,
bisa-bisa masa depan bangsa ini akan semakin terpuruk, kehilangan harapan, atau setidaknya akan
kehilangan kepribadian dan gampang ”diperbudak” oleh bangsa lain (eneste,
2009: 73).
Andyana
(2014) menyatakan “Belajar sastra
adalah salah satu keterampilan yang imajinatif dan komunikatif bagi siswa
sebagai pencipta maupun penikmat sastra. Di dalamnya terdapat muatan mendidik
yang tersirat dan tidak bersifat doktrin. Siswa juga bisa mencerna sesuai
dengan perkembangan jiwanya dan membuatnya sangat peka terhadap karya sastra
itu sendiri”.
Jadi
dapat disimpulkan bahwa Kenyataan
ini menunjukkan sastra sangat relevan dengan pendidikan karakter. Karya sastra
sarat dengan nilai-nilai pendidikan akhlak seperti dikehendaki dalam pendidikan
karakter. Cerita rakyat ”Jaka Tarub” mengajarkan anak mengenai pentingnya
menjunjung tinggi nilai kejujuran dan kepercayaan. Cerita binatang ”Pelanduk
Jenaka” mengandung pendidikan tentang harga diri, sikap kritis, dan protes
sosial. Sementara itu, bentuk puisi seperti pepatah, pantun, dan bidal
penuh dengan nilai pendidikan.
2.3 Pengaruh Apresiasi Sastra Terhadap
Karakter Siswa
Minat terhadap sastra kini mengalami degradasi. Hal ini
disebabkan oleh tuntutan jaman yang serba insaeweeeetan dan serba cepat. Karya sastra anak didominasi oleh
komik-komik dari luar negeri seperti Spongebob,
Dora the Explorer, dan sebagainya. Belum lagi
perkembangan teknologi pada zaman modern ini yang di dominasi oleh gadget
membuat semua kalangan usia dapat menikmatinya.
Wellek
(1989: 9) menyatakan pemahaman dan apresiasi sangat penting karena merupakan
syarat yang harus dipenuhi sebelum kita mengembangkan pengetahuan dan pemikiran
terhadap karya sastra, walau bagaimana pentingnya keahlian membaca bagi seorang
ilmuan sastra, studi sastra bukanlah sekadar alat bantu untuk memahami karya
sastra, melalui membaca secara kritis dan teliti ke ahlian membaca barulah
merupakan tujuan yang harus dicapai secara pribadi saja. Keahlian membaca
memang sangat diperlukan untuk membudayakan apresiasi sastra dalam masyarakat tetapi
tidak dapat menggantikan studi sastra yang jangkauannya melampaui apresiasi
perorangan. Karena studi sastra merupakan cabang ilmu pengetahuan yang
berkembang terus-menerus.
Andyana
(2014) menyatakan “Membaca karya
sastra bukan hanya untuk mendapatkan kepuasan karena
keindahannya, melainkan juga untuk memperkaya wawasan dan daya nalar. Sastra
adalah vitamin batin, karena mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan kepada
pembacanya dan memberikan pencerahan. Mengingat peranan sastra dalam
pengembangan kepribadian pembacanya, maka pengajaran sastra di sekolah
sangatlah penting”.
Banyak hal yang dapat diperoleh dari sastra. Alwi
(2011) mengemukakan fungsi yang dapat diambil dari sastra
indonesia, daerah dan asing
yaitu sebagai berikut: 1. Sastra
merupakan salah satu media ekspresi penyaluran pengungkapan pemikiran
masyarakat; 2. Sebagai alat untuk memperkukuh budaya masyarakat di daerah; 3.
Menumbuhkan rasa kenasionalan, solidaritas kemanusian, dan merekam perkembangan
kehidupan masyarakat Indonesia; 4. Sumber inspirasi bagi pengarang dan untuk mengenal budaya
asing, dan bahan kajian sastra bandingan.
2.4 Pemberdayaan Pembelajaran Apresiasi
Sastra di Sekolah
Andyana
(2014) menyatakan “Dalam Standar
Isi mata pelajaran Bahasa Indonesia Kurikulum 2006 (KTSP) “disebutkan bahwa mata pelajaran bahasa Indonesia
bertujuan antara lain agar peserta didik memiliki kemampuan menikmati dan
memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti,
serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, juga menghargai dan
membanggakan sastra Indonesia”.
Ismail
(2014) menyatakan “Tahun Pelajaran 2014/2015, pemerintah mengambil kebijakan
untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013 (K13) pada jenjang pendidikan
SD, SMP, dan SMA sederajat di tanah air. Kebijakan ini ditetapkan
setelah melalui uji publik yang penuh pro dan kontra. Apapun pro dan kontra
itu, kehadiran K13—yang saya sebut sebagai Kurikulum Cinta—memberikan
corak tersendiri pada wajah pendidikan di negara kita. Yang jelas,
kurikulum ini bertujuan mengubah pola dan muatan materi pembelajaran di
kelas-kelas kita. Salah satu pola dan materi pembelajaran itu adalah muatan
sastra yang terangkum dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Sastra secara
spesifik dinilai patut termaktub dalam pembelajaran. Kepatutan konten sastra
dalam pembelajaran memiliki alasan tersendiri. Alasan ini berkaitan dengan
aspek karakter humanistis. Bukankah salah seorang sahabat Rasulullah, Umar bin
Khattab, pernah berpesan agar kita mengajarkan sastra kepada anak-anak?
Menurutnya, sastra bisa menumbuhkan budi pekerti yang halus kepada anak-anak
kita. Bahkan, sastra bisa membentuk keberanian (positif) pada diri generasi.
Selain itu, sastra mengandung khazanah tunjuk ajar yang mampu membentuk kepribadian
luhur pada diri manusia.
Ratna
(2010 : 446) menyatakan di dalam sebuah karya satra tersimpan seluruh aspek
kebudayaan baik dalam sastra daerah sastra Indonesia terkandung nilai
kebudayaan yang sangat kaya. Akan tetapi masalah yang perlu dipertimbangkan
adalah bagaimana khasanah tersebut disebarluaskan salah satunya yaitu melalui
dunia pendidikan Sehingga dapat dipahami secara merata dan sesungguhnya pembelajaran sastra memiliki tujuan yang
mulia dan besar. Hanya saja, tujuan tersebut cuma akan menjadi slogan apabila dalam pembelajaran sastra di
sekolah tidak dilakukan secara maksimal.
Franshori
(2012) menyatakan “Selain guru
sebagai pendidik juga harus mempunyai ketertarikan terhadap sastra,
Tugas guru sastra tidak hanya memberi pengetahuan (aspek kognitif), tetapi juga
keterampilan (aspek psikomotorik) dan menanamkan rasa cinta (aspek afektif),
baik melalui kegiatan di dalam kelas maupun di luar kelas. Selama ini
pengajaran sastra di sebagian besar sekolah hanya terjadi dalam ruang yang
dibatasi dinding kelas. Hasilnya imajinasi dan kreasi siswa kurang berkembang
optimal, misalnya ketika siswa mendapat tugas menulis puisi berkenaan dengan
alam. Namun guru bersangkutan tidak mengajak ke alam terbuka. Padahal
pemanfaatan situasi menumbuh kembangkan daya imajinasi kreasi mereka dalam
penciptaan puisi”.
Ratna
(2010 : 524) menyatakan dalam karya sastra bahasa merupakan alat utama khasnya
sebagai bahasa tulis dan lisan dengan kalimat lain, sastra adalah bahasa itu
sendiri, tanpa bahasa tidak ada sastra, seperti diketahui, bahasa merupakan
sistem lambang dengan sifat manasuka. Sebagai sistem lambang secara masuk akal
dalam bahasa dimasukkan keseluruhan pesan pengaran (Langer). Dengan sifat manasuka
pesan itu sendiri secara terus menerus disesuaikan kearah makna ganda, sebagai
petanda-petanda baru (Eagleton). Sebab makna teks hanyalah ciri khusus suatu
waktu yang dihasilkan oleh proses penambahan (Derrida).
Jadi
dapat disimpulkan bahwa dalam proses pembelajaran seorang guru dituntut untuk
aktif, kreatif, inovatif, dan menciptkan srategi jitu. Guru juga dituntut
mengembangkan kompetensinya sehingga mampu menciptakan pembelajaran yang
berkualitas dari segi isi (materi) maupun kemasannya. Dalam konteks
pembelajaran sastra, tentu saja guru dituntut untuk mampu menciptakan suasana
pembelajaran yang aktif, kreatif, dan menyenangkan, serta tidak ketinggalan
jaman.
Untuk menyiasatinya, guru dapat mengajak siswa
mengumpulkan bacaan sastra dari media cetak atau internet yang disusun dalam
bentuk kliping yang dapat dibaca oleh semua. Bila upaya-upaya tersebut dapat
dilakukan, bukan tidak mungkin pembelajaran sastra di sekolah menjadi bergairah
sehingga mampu mencapai tujuan yang telah direncanakan.
2.5 Permasalahan Pengajaran Sastra Di Sekolah
Problematika
Pengajaran Sastra di Indonesia Franshori (2012) menyatakan :
“Problematika pengajaran sastra di sekolah
dikaitkan pada sebagian besar guru bahasa dan sastra di sekolah kurang menumbuh
kembangkan minat dan kemampuan siswa dalam hal sastra. Sebenarnya guru dapat
mengusahakan karya sastra yang dimuat di media massa dalam bentuk buku sastra,
melalui media elektronik yakni internet dan radio. Beberapa hal lain pula
adanya anggapan gagalnya pengajaran sastra di sekolah lebih banyak terjadi
akibat kesalahan guru di sekolah yang telah mengingkari hakikat yang melandasi
lahirnya pengajaran sastra itu”.
“Permasalahan
lain, kurikulum pendidikan yang saat ini digunakan tidak pernah memberikan
ruang gerak pada pembelajaran sastra. Orientasi pemerintah dalam pembangunan
bidang pendidikan masih melenceng jauh dari hakikat dan tujuan itu sendiri.
Pada kenyataan guru pun masih dihadapkan dengan seperangkat silabus dan Standar
Kompetensi Lulusan (SKL) yang telah dipatenkan dan menghambat kreativitas guru
dan dengan sendirinya pembelajaran sastra menjadi terpinggirkan”.
“Karena itu,
seperti berkali-kali dikemukakan oleh Taufiq Ismail, sangat penting untuk
mengusulkan kembali agar pelajaran sastra dipisahkan saja dari pelajaran bahasa
Indonesia, terutama sejak pendidikan tingkat SMU. Rasanya, inilah cara
paling tepat agar pengajaran sastra di SMU dapat berlangsung secara efektif dan
maksimal. Dengan pemisahan seperti itu, maka mata pelajaran sastra akan berdiri
otonom dan akan menyumbangkan nilai 100 persen pada rapor atau nilai UAN siswa.
Pemisahan itu cukup dimulai sejak SMU, karena pada jenjang itu penguasaan
bahasa siswa rata-rata sudah cukup memadai, dengan daya penalaran yang cukup
matang dan pada usia itulah minat dan bakat khusus siswa perlu diberi peluang
untuk tumbuh lebih menonjol, termasuk bakat menjadi sastrawan”.
“Namun,
menunggu pemisahan pengajaran sastra dari pengajaran bahasa, barangkali seperti
menunggu Keajaiban kapan kebijakan itu akan diputuskan oleh pemerintah
(Depdiknas) sambil berdoa agar ada kebijaksanaan yang lebih pas tentang
pengajaran sastra, mari para guru bahasa dan sastra Indonesia, kita mulai dari
diri kita masing-masing, dengan belajar meminati dan mencintai karya sastra,
dan mengajarkan apresiasi sastra kepada siswa secara sungguh-sungguh, maksimal,
dan kreatif, demi pembentukan karakter siswa yang lebih baik, dan ikut
menyumbang proses perbaikan masa depan bangsa”.
2.6 Upaya yang Bisa Dilakukan Pendidik
Melalui Sastra
Sebagai wujud untuk menyampaikan atau menambahkan pendidikan
karakter dalam sastra kepada peserta didik ada beberapa upaya yang bisa
dilakukan yaitu Pendidik mengungkapkan nilai-nilai dalam mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia dengan pembauran langsung nilai-nilai karakter yang menjadi bagian terpadu dari mata pelajaran tersebut.
karakter dalam sastra kepada peserta didik ada beberapa upaya yang bisa
dilakukan yaitu Pendidik mengungkapkan nilai-nilai dalam mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia dengan pembauran langsung nilai-nilai karakter yang menjadi bagian terpadu dari mata pelajaran tersebut.
-
Cerpen
Sumiyadi
(2014: 63) menyatakan Seperti halnya diambil dari berbagi cerita yang pernah
dibaca, didiengar dan menemukan banyak tema besar yang tetap abadi yang juga
universal, misal tema cinta sepeti cerita sangkurian dari tanah sunda dengan
cerita romeo dan juliet shakespeare Pendidik
bisa menggunakan perbandingan cerita pendek berdasarkan kehidupan atau
kejadian-kejadian dalam hidup para peserta didik. Bisa juga menggunakan cerita
untuk memunculkan nilai-nilai karakter dengan menceritakan kisah hidup
orang-orang besar. Dengan kisah nyata yang dialami orang-orang besar dan
terkenal bisa menjadikan peserta didik akan terpikat dan mengidolakan serta
pastinya ingin menjadi seperti idolanya tersebut.
-
Puisi
(lagu)
Pradopo
(2012: 7) menyatakan Dalam puisi ada 3 unsur pokok yaitu : pertama hal yang
meliputi pemikiran, ide, atau emosi, kedua bentuknya, dan yang ketiga adalah
kesannya. Dimana puisi mengespresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan
yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama.
Sumiyadi
(2014: 27) Seseorang dapat memanfaatkan segala pengalamannya baik berupa
kesenangan atau kesedihan sebagai bahan berlatih untuk menulis puisi, seperti yang kita ketahui bahwa manusia sebagai mahluk
hidup tidak akan luput dari pengalaman. Seperti yang kita ketahui, musik / lagu bisa memberikan efek yang sangat
dalam bagi pendengarnya. Bahkan kabar terkini yang telah kita ketahui bersama,
bayi dalam kandungan pun bisa dipengaruhi dengan lagu yang diputar dekat dengan
perut ibunya. Dengan dasar ini pendidik bisa menggunakan lagu-lagu dan musik
(musikalisasi puisi) untuk mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam benak
peserta didik.
-
Drama
Pendidik bisa juga menggunakan drama sebagai media untuk
melukiskan kejadian-kejadian yang berisikan nilai-nilai karakter. Sehingga
secara audio visual serta aplikasi langsung (pementasan drama) menjadikan
peserta didik lebih mudah untuk memahami dan menyerap nilai-nilai karakter
tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Arifin C. Noer dalam
buku yang berjudul “Sanggar Sastra” Sumiyadi (2014: 142) “bahwa setiap kali
saya berkarya, saya selalu berusaha tulus menulusuri misteri dari ide yang saya
dapat dan saya termasuk orang yang percaya bahwa ide dan bentuk merupakan suatu
kesatuan organik” Selain itu,
tugas-tugas yang bisa dikerjakan dirumah dapat mengambil contoh tentang apa
yang dilihat peserta didik di televisi kemudian pendidik akan menjelaskan
sekaligus meluruskan nilai-nilai apa saja yang ada dalam film.
-
Novel
Menggunakan novel sebagai media untuk mengungkapkan
nilai-nilai atau norma-norma dalam masyarakat melalui diskusi pun bisa
digunakan oleh pendidik. Seperti pada teori Lucas dalam buku
“sosiologi Sastra” Faruk (2010: 90-91) menyatakan novel sebagai cerita tentang
suatu pencarian yang mengalami kemunduran akan nilai-nilai yang dapat dipercaya
dilakukan oleh seorang pahlawan yang masih
menimbulkan masalah dalam sebuah dunia yang juga mengalami
kemunduran. Novel banyak
memberikan kisah-kisah yang mampu menjadikan pembacanya berimajinasi dan masuk
dalam cerita novel tersebut. Banyak pembaca novel yang terpengaruh dengan isi novel, baik itu gaya
berbicara, busana bahkan perilaku tentunya setelah membaca dan memahaminya. Hal
ini sangat baik apabila pendidik mampu memasukkan pendidikan karakter untuk
bisa mempengaruhi peserta didiknya.
Selain cara-cara di atas masih banyak cara yang lainnya
yang bisa digunakan oleh pendidik untuk menyampaikan nilai-nilai dalam
pendidikan karakter, namun jangan terlepas dari pemilihan bahan ajar yang
tepat. Karena dengan memilih bahan ajar yang tepat, peserta didik akan
merasakan kedalaman materi yang membuat mereka menyadari makna kehidupan.
Kesadaran itulah yang akan membuat pembelajaran bukan sekadar mengajarkan
materi, tetapi juga mendidik.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pengaruh sastra dalam pembentukan karakter siswa tidak
hanya didasarkan pada nilai yang terkandung di dalamnya. Pembelajaran
sastra yang bersifat apresiatif pun sarat dengan pendidikan karakter.
Kegiatan membaca, mendengarkan, dan menonton karya sastra pada hakikatnya
menanamkan karakter tekun, berpikir kritis, dan berwawasan luas. Pada
saat yang bersamaan dikembangkan kepekaan perasaan sehingga siswa akan
cenderung cinta kepada kebaikan dan membela kebenaran.
Pada kegiatan menulis karya sastra, dikembangkan karakter
tekun, cermat, taat, dan kejujuran. Sementara itu, pada kegiatan dokumentatif
dikembangkan karakter ketelitian, dan berpikir ke depan (visioner).
Tingkat apresiasi sastra masyarakat sangat terkait dengan
pengajaran sastra di sekolah. Peran lembaga pendidikan sangat penting untuk
menumbuhkan sikap apresiatif terhadap karya sastra sejak dini. Pengajaran
sastra harus berjalan dengan baik, agar kemampuan dan sikap apresiatif siswa
terhadap karya sastra dapat tumbuh secara sehat.
3.2 Saran
Melalui pengajaran sastra,
diharapkan dapat berperan dalam membentuk karakter yang positif pada diri
siswa. Namun, pembentukan karakter siswa itu tidak akan maksimal, atau bahkan
gagal, jika pengajaran sastra gagal menumbuhkan minat baca siswa pada karya
sastra, dan mereka tetap tidak memiliki sikap apresiatif terhadap karya sastra.
DAFTAR
PUSTAKA
Andyana,
Metta. 2014. “Makalah Bahasa Indonesia Pendidikan”. http://mettaadnyana.blogspot.co.id/2014/06/makalah-bahasa-indonesia-pendidikan.html selasa 20 0ktober jam 17.42 WITA.
Durachman, Memen dan
Sumiyadi. 2014. Sanggar Sastra. Bandung:
Alfabeta.
Eneste, Pamusuk.1982. Proses Krearif. Jakarta: Kepustakaan
Popular Gramedia.
Fransori, Arinah.
2012. “Hal Ihwal Pengajaran Sastera”. https://nenggelisfransori.wordpress.com/2012/01/25/hal-ihwal-pengajaran-sastra/ selasa 20 oktober 2015 pukul 18.12 WITA.
Pradopo, Rahmat Djoko.
1987. Penkajian Puisi. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Ratna, Kutha Nyuman. 2010. Sastra
dan Cultural Studies. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugono,
Dendy dan Alwi Hasan. 2011. Politik
Bahasa. Jakarta: Badan Pengembangan Dan Pembinaan Bahasa Kementrian
Pendidikan Dan Kebudayaan.
Teeuw, A. 1984. Sastera Dan Ilmu Sastera. Jakarta: Dunia
Pustaka Jaya.
Wellek, Rene dan Warren
Austin. 1989. Teori Kesusatraan. Jakarta:
Gramedia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar