Sabtu, 05 Desember 2015

MAKALAH PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN  SASTRA  INDONESIA
“PENGAJARAN SASTRA DI SEKOLAH BERBASIS KARAKTER”

Description: UNM2.jpg
 









DISUSUN OLEH
KELOMPOK IV

KASMA (1451141004)
ADE IRMA (1451141001)
NUR FAUZIAH SAPUTRI (1451141003)
EDI HAMRAN (1451141005)
NUR FADLI (1451141008)

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR



BAB I
PENDAHULUAN

1.1            Latar Belakang
Kondisi masyarakat dewasa ini sangat memprihatinkan. Perkelahian, pembunuhan, kesenjangan sosial, ketidakadilan, perampokan, korupsi, pelecehan seksual, penipuan, fitnah terjadi di mana-mana. Hal itu dapat diketahui lewat berbagai media cetak atau elektronik, seperti surat kabar, televisi atau  internet. Bahkan, tidak jarang kondisi seperti itu dapat disaksikan secara langsung di tengah masyarakat.
Keprihatinan terhadap kondisi masyarakat yang demikian itu, menumbuhkan semangat untuk mengkaji sebab dan mencari pemecahannya. Penelitian dan seminar mengenai masalah tersebut telah berkali-kali diselenggarakan oleh berbagai instansi, baik pemerintah maupun swasta. Ujungnya adalah persamaaan persepsi terhadap pentingnya menggalakkan pendidikan karakter.
Respon masyarakat terhadap pendidikan karakter berbeda-beda. Di kalangan kelompok pendidik  muncul pendapat tentang perlunya pendidikan budi pekerti, sedangkan  agamawan memandang perlunya  penguatan pendidikan agama. Mereka yang berkecimpung di bidang politik mengusulkan revitalisasi pendidikan Pancasila.  Dalam hal ini, Kemendiknas telah merespon berbagai pendapat itu dengan membentuk Tim Pengembang Pendidikan Karakter.
Selanjutnya, para guru terutama guru bahasa dan sastra Indonesia ingin menyumbangkan pemikiran tentang perlunya pendidikan apresiasi sastra terhadap pembentukan karakter siswa. Melalui sastra diharapkan dapat terwariskan nilai-nilai luhur kearifan lokal guna membendung pengaruh negatif era globalisasi. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk diketahui tentang sejauh mana “Pengaruh Apresiasi Sastra terhadap pengembangan Karakter Siswa”.








1.2            Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan pembinaan, pengembangan dan pendidikan karakter dan sastra itu?
2.      Bagaimana hubungan sastra terhadap pendidikan karakter di kalangan siswa?
3.      Bagaimana pengaruh apresiasi sastra terhadap karakter siswa?
4.      Bagaimana memberdayakan pembelajaran apresiasi sastra di sekolah?
5.      Bagaimana permasalahan pengajaran sastra di Sekolah ?
6.      Bagaimana upaya yang bisa dilakukan pendidik untuk menanamkan pendidikan karakter melalui sastra?

1.3            Tujuan

1.      Untuk mengetahui pengertian pembinaan, pengembangan dan pendidikan karakter dan sastra.
2.      Untuk mengetahui relevansi sastra terhadap pendidikan karakter di kalangan siswa.
3.      Untuk mengetahui pengaruh apresiasi sastra terhadap karakter siswa.
4.      Untuk mengetahui pemberdayaan pembelajaran apresiasi sastra di sekolah.
5.      Untuk mengetahui permasalahan pengajaran sastra di sekolah
6.      Untuk mengetahui upaya yang bisa dilakukan pendidik untuk menanamkan pendidikan karakter melalui sastra.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1     Pembinaan, Pengembangan, Pendidikan Karakter Dan Sastra
1.      Pembinaan
Alwi (2011) menyatakan dalam buku politik bahasa ”badan pengembangan dan pembinaan bahasa kementrian pendidikan dan kebudayaan” yang dimaksud dengan pembinaan ialah usaha untuk meningkatkan kualitas pemakaian bahasa. Usaha-usaha pembinaan itu mencangkup upaya perbaikan sikap, pengetahuan dan keterampilan berbahasa yang dilakukan, antara lain yang dilakukan ialah melalui proses pengajaran dan pemasyarakatan.
Menurut ahli sasrta yang berasal dari kanada Northrop frye mengenai pembinaan sistem sastra universal yang sangat berpengaruh dalam teori dan pendidikan sastra di amerika serikat. sebenarnya sastra bukanlah sesuatu yang tidak mungkin terjadi, yang biasanya hanya berupa karya semata. Dalam hal ini Northrop frye sangat setujuh dengan T.S Eliot yang pernah mengatakan bahwa monumen sastra yang ada mewujudkan tata susun yang ideal satu sama lain, jadi bukanlah hanya merupakan kumpulan karya sejumlah individu karena itu kita memerlukan sebuah teori sastra yang prinsip-prinsipnya berlaku untuk keseluruhan sastra dan dapat mempertanggung jawabkan setiap prosedur kritik yang sah (Teeuw 2003: 96-97).
2.      Pengembangan
Dikutip dari Kbbi offline 1.5 menyatakan “pengembangan ialah upaya meningkatkan mutu bahasa agar dapat dipakai untuk berbagai keperluan dl kehidupan masyarakat modern”.

3.      Pendidikan Karakter
Dalam Wikipedia Indonesia menyatakan Karakter atau watak adalah sifat batin yang mempengaruhi segenap pikiran, perilaku, budi pekerti, dan tabiat yang dimiliki manusia atau makhluk hidup lainnya
-          Pengertian karakter menurut para ahli, adalah sebagai berikut:
Andyana (2014) ” Suyanto (2009) mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun  negara. Menurut Pritchard (1988: 467)  mendefinisikan karakter sebagai sesuatu yang berkaitan dengan kebiasaan hidup individu yang bersifat menetap dan cenderung positif”.
4.      Sastra
Dalam Wikipedia Indonesia menyatakan sastra merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta śāstra, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar śās- yang berarti “instruksi” atau “ajaran”. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis dan sastra lisan. Maksud dari sastra lisan di sini ialah sastra yang tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu
2.2    Hubungan Sastra terhadap Pendidikan Karakter di Kalangan Siswa
Ratna (2010 : 444) Keterkaitan pendidikan terhadap sastra adalah terselenggaranya keseluruhan ukuran yang berhubungan dengan aktivitas kreatif di sekolah-sekolah, yang dimulai sejak taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Pendidikan meningkatkan kualitas sumber daya. Baik terhadap seniman sebagi pencipta atau pembuat karya maupun pembaca sebagai penikmat. Lembaga pendidikan memperoleh kualitas pesan yang sangat berarti.

Dalam Proses penciptaan karya sastra menurut A.A Navis dalam proses kreatifnya bahwa sekolah merupakan sumber pendorong penciptaan karya sastra dan tempat pengembangan bakat dan karakter, hal ini jelas terlihat dalam kutipan “disekolah saya banyak berkesempatan untuk mengembangkan bakat, saya belajar musik, belajar melukis, memahat patung, belajar bersandiwara dan sebagainya” hal ini jelas bahwa sekolah merupakan tumpuan bagi seseorang belajar berkarnya, dimana selain mempelajari teori juga melakukan  praktik dari teori tersebut. Dan bila gagal dalam membentuk pengembangan karakter yang positif dan unggul pada diri siswa, bisa-bisa masa depan bangsa ini akan semakin terpuruk, kehilangan harapan, atau setidaknya akan kehilangan kepribadian dan gampang ”diperbudak” oleh bangsa lain (eneste, 2009: 73).
Andyana (2014) menyatakan “Belajar sastra adalah salah satu keterampilan yang imajinatif dan komunikatif bagi siswa sebagai pencipta maupun penikmat sastra. Di dalamnya terdapat muatan mendidik yang tersirat dan tidak bersifat doktrin. Siswa juga bisa mencerna sesuai dengan perkembangan jiwanya dan membuatnya sangat peka terhadap karya sastra itu sendiri.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Kenyataan ini menunjukkan sastra sangat relevan dengan pendidikan karakter. Karya sastra sarat dengan nilai-nilai pendidikan akhlak seperti dikehendaki dalam pendidikan karakter.  Cerita rakyat ”Jaka Tarub” mengajarkan anak mengenai pentingnya menjunjung tinggi nilai kejujuran dan kepercayaan. Cerita binatang ”Pelanduk Jenaka” mengandung pendidikan tentang harga diri, sikap kritis, dan protes sosial. Sementara itu, bentuk puisi seperti pepatah,  pantun, dan bidal penuh dengan nilai pendidikan.
2.3            Pengaruh Apresiasi Sastra Terhadap Karakter Siswa
Minat terhadap sastra kini mengalami degradasi. Hal ini disebabkan oleh tuntutan jaman yang serba insaeweeeetan dan serba cepat. Karya sastra anak didominasi oleh komik-komik dari luar negeri seperti Spongebob, Dora the Explorer, dan sebagainya. Belum lagi perkembangan teknologi pada zaman modern ini yang di dominasi oleh gadget membuat semua kalangan usia dapat menikmatinya.
Wellek (1989: 9) menyatakan pemahaman dan apresiasi sangat penting karena merupakan syarat yang harus dipenuhi sebelum kita mengembangkan pengetahuan dan pemikiran terhadap karya sastra, walau bagaimana pentingnya keahlian membaca bagi seorang ilmuan sastra, studi sastra bukanlah sekadar alat bantu untuk memahami karya sastra, melalui membaca secara kritis dan teliti ke ahlian membaca barulah merupakan tujuan yang harus dicapai secara pribadi saja. Keahlian membaca memang sangat diperlukan untuk membudayakan apresiasi sastra dalam masyarakat tetapi tidak dapat menggantikan studi sastra yang jangkauannya melampaui apresiasi perorangan. Karena studi sastra merupakan cabang ilmu pengetahuan yang berkembang terus-menerus.
Andyana (2014) menyatakan “Membaca karya sastra bukan hanya untuk mendapatkan kepuasan karena keindahannya, melainkan juga untuk memperkaya wawasan dan daya nalar. Sastra adalah vitamin batin, karena mengajarkan nilai-nilai luhur kemanusiaan kepada pembacanya dan memberikan pencerahan. Mengingat peranan sastra dalam pengembangan kepribadian pembacanya, maka pengajaran sastra di sekolah sangatlah penting.
Banyak hal yang dapat diperoleh dari sastra. Alwi  (2011) mengemukakan fungsi yang dapat diambil dari sastra indonesia, daerah dan asing yaitu sebagai berikut: 1. Sastra merupakan salah satu media ekspresi penyaluran pengungkapan pemikiran masyarakat; 2. Sebagai alat untuk memperkukuh budaya masyarakat di daerah; 3. Menumbuhkan rasa kenasionalan, solidaritas kemanusian, dan merekam perkembangan kehidupan masyarakat Indonesia; 4. Sumber inspirasi  bagi pengarang dan untuk mengenal budaya asing, dan bahan kajian sastra bandingan.
2.4            Pemberdayaan Pembelajaran Apresiasi Sastra di Sekolah
Andyana (2014) menyatakan “Dalam Standar Isi mata pelajaran Bahasa Indonesia Kurikulum 2006 (KTSP) disebutkan bahwa mata pelajaran bahasa Indonesia bertujuan antara lain agar peserta didik memiliki kemampuan menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa, juga menghargai dan membanggakan sastra Indonesia”.
Ismail (2014) menyatakan “Tahun Pelajaran 2014/2015, pemerintah mengambil kebijakan untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013 (K13) pada jenjang pendidikan SD,   SMP, dan SMA sederajat di tanah air. Kebijakan ini ditetapkan setelah melalui uji publik yang penuh pro dan kontra. Apapun pro dan kontra itu,  kehadiran K13—yang saya sebut sebagai Kurikulum Cinta—memberikan corak tersendiri pada wajah pendidikan di negara kita. Yang jelas,  kurikulum ini bertujuan mengubah pola dan muatan materi pembelajaran di kelas-kelas kita. Salah satu pola dan materi pembelajaran itu adalah muatan sastra yang terangkum dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Sastra secara spesifik dinilai patut termaktub dalam pembelajaran. Kepatutan konten sastra dalam pembelajaran memiliki alasan tersendiri. Alasan ini berkaitan dengan aspek karakter humanistis. Bukankah salah seorang sahabat Rasulullah, Umar bin Khattab, pernah berpesan agar kita mengajarkan sastra kepada anak-anak? Menurutnya, sastra bisa menumbuhkan budi pekerti yang halus kepada anak-anak kita. Bahkan, sastra bisa membentuk keberanian (positif) pada diri generasi. Selain itu, sastra mengandung khazanah tunjuk ajar yang mampu membentuk kepribadian luhur pada diri manusia.
Ratna (2010 : 446) menyatakan di dalam sebuah karya satra tersimpan seluruh aspek kebudayaan baik dalam sastra daerah sastra Indonesia terkandung nilai kebudayaan yang sangat kaya. Akan tetapi masalah yang perlu dipertimbangkan adalah bagaimana khasanah tersebut disebarluaskan salah satunya yaitu melalui dunia pendidikan Sehingga dapat dipahami secara merata dan sesungguhnya pembelajaran sastra memiliki tujuan yang mulia dan besar. Hanya saja, tujuan tersebut cuma akan menjadi slogan apabila dalam pembelajaran sastra di sekolah tidak dilakukan secara maksimal.
Franshori (2012) menyatakan “Selain guru sebagai pendidik juga harus mempunyai ketertarikan terhadap sastra, Tugas guru sastra tidak hanya memberi pengetahuan (aspek kognitif), tetapi juga keterampilan (aspek psikomotorik) dan menanamkan rasa cinta (aspek afektif), baik melalui kegiatan di dalam kelas maupun di luar kelas. Selama ini pengajaran sastra di sebagian besar sekolah hanya terjadi dalam ruang yang dibatasi dinding kelas. Hasilnya imajinasi dan kreasi siswa kurang berkembang optimal, misalnya ketika siswa mendapat tugas menulis puisi berkenaan dengan alam. Namun guru bersangkutan tidak mengajak ke alam terbuka. Padahal pemanfaatan situasi menumbuh kembangkan daya imajinasi kreasi mereka dalam penciptaan puisi”.
Ratna (2010 : 524) menyatakan dalam karya sastra bahasa merupakan alat utama khasnya sebagai bahasa tulis dan lisan dengan kalimat lain, sastra adalah bahasa itu sendiri, tanpa bahasa tidak ada sastra, seperti diketahui, bahasa merupakan sistem lambang dengan sifat manasuka. Sebagai sistem lambang secara masuk akal dalam bahasa dimasukkan keseluruhan pesan pengaran (Langer). Dengan sifat manasuka pesan itu sendiri secara terus menerus disesuaikan kearah makna ganda, sebagai petanda-petanda baru (Eagleton). Sebab makna teks hanyalah ciri khusus suatu waktu yang dihasilkan oleh proses penambahan (Derrida).
Jadi dapat disimpulkan bahwa dalam proses pembelajaran seorang guru dituntut untuk aktif, kreatif, inovatif, dan menciptkan srategi jitu. Guru juga dituntut mengembangkan kompetensinya sehingga mampu menciptakan pembelajaran yang berkualitas dari segi isi (materi) maupun kemasannya. Dalam konteks pembelajaran sastra, tentu saja guru dituntut untuk mampu menciptakan suasana pembelajaran yang aktif, kreatif, dan menyenangkan, serta tidak ketinggalan jaman.
Untuk menyiasatinya, guru dapat mengajak siswa mengumpulkan bacaan sastra dari media cetak atau internet yang disusun dalam bentuk kliping yang dapat dibaca oleh semua. Bila upaya-upaya tersebut dapat dilakukan, bukan tidak mungkin pembelajaran sastra di sekolah menjadi bergairah sehingga mampu mencapai tujuan yang telah direncanakan.
2.5       Permasalahan Pengajaran Sastra Di Sekolah
Problematika Pengajaran  Sastra di Indonesia Franshori (2012) menyatakan :
 “Problematika pengajaran sastra di sekolah dikaitkan pada sebagian besar guru bahasa dan sastra di sekolah kurang menumbuh kembangkan minat dan kemampuan siswa dalam hal sastra. Sebenarnya guru dapat mengusahakan karya sastra yang dimuat di media massa dalam bentuk buku sastra, melalui media elektronik yakni internet dan radio. Beberapa hal lain pula adanya anggapan gagalnya pengajaran sastra di sekolah lebih banyak terjadi akibat kesalahan guru di sekolah yang telah mengingkari hakikat yang melandasi lahirnya pengajaran sastra itu”.
“Permasalahan lain, kurikulum pendidikan yang saat ini digunakan tidak pernah memberikan ruang gerak pada pembelajaran sastra. Orientasi pemerintah dalam pembangunan bidang pendidikan masih melenceng jauh dari hakikat dan tujuan itu sendiri. Pada kenyataan guru pun masih dihadapkan dengan seperangkat silabus dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang telah dipatenkan dan menghambat kreativitas guru dan dengan sendirinya pembelajaran sastra menjadi terpinggirkan”.
“Karena itu, seperti berkali-kali dikemukakan oleh Taufiq Ismail, sangat penting untuk mengusulkan kembali agar pelajaran sastra dipisahkan saja dari pelajaran bahasa Indonesia, terutama sejak pendidikan tingkat SMU.  Rasanya, inilah cara paling tepat agar pengajaran sastra di SMU dapat berlangsung secara efektif dan maksimal. Dengan pemisahan seperti itu, maka mata pelajaran sastra akan berdiri otonom dan akan menyumbangkan nilai 100 persen pada rapor atau nilai UAN siswa. Pemisahan itu cukup dimulai sejak SMU, karena pada jenjang itu penguasaan bahasa siswa rata-rata sudah cukup memadai, dengan daya penalaran yang cukup matang dan pada usia itulah minat dan bakat khusus siswa perlu diberi peluang untuk tumbuh lebih menonjol, termasuk bakat menjadi sastrawan”.
“Namun, menunggu pemisahan pengajaran sastra dari pengajaran bahasa, barangkali seperti menunggu Keajaiban kapan kebijakan itu akan diputuskan oleh pemerintah (Depdiknas) sambil berdoa agar ada kebijaksanaan yang lebih pas tentang pengajaran sastra, mari para guru bahasa dan sastra Indonesia, kita mulai dari diri kita masing-masing, dengan belajar meminati dan mencintai karya sastra, dan mengajarkan apresiasi sastra kepada siswa secara sungguh-sungguh, maksimal, dan kreatif, demi pembentukan karakter siswa yang lebih baik, dan ikut menyumbang proses perbaikan masa depan bangsa”.
2.6            Upaya yang Bisa Dilakukan Pendidik Melalui Sastra
Sebagai wujud untuk menyampaikan atau menambahkan pendidikan
karakter dalam sastra kepada peserta didik ada beberapa upaya yang bisa
dilakukan
yaitu Pendidik mengungkapkan nilai-nilai dalam mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia dengan pembauran langsung nilai-nilai karakter yang menjadi bagian terpadu dari mata pelajaran tersebut.
-          Cerpen
Sumiyadi (2014: 63) menyatakan Seperti halnya diambil dari berbagi cerita yang pernah dibaca, didiengar dan menemukan banyak tema besar yang tetap abadi yang juga universal, misal tema cinta sepeti cerita sangkurian dari tanah sunda dengan cerita romeo dan juliet shakespeare Pendidik bisa menggunakan perbandingan cerita pendek berdasarkan kehidupan atau kejadian-kejadian dalam hidup para peserta didik. Bisa juga menggunakan cerita untuk memunculkan nilai-nilai karakter dengan menceritakan kisah hidup orang-orang besar. Dengan kisah nyata yang dialami orang-orang besar dan terkenal bisa menjadikan peserta didik akan terpikat dan mengidolakan serta pastinya ingin menjadi seperti idolanya tersebut.
-          Puisi  (lagu)
Pradopo (2012: 7) menyatakan Dalam puisi ada 3 unsur pokok yaitu : pertama hal yang meliputi pemikiran, ide, atau emosi, kedua bentuknya, dan yang ketiga adalah kesannya. Dimana puisi mengespresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama.
Sumiyadi (2014: 27) Seseorang dapat memanfaatkan segala pengalamannya baik berupa kesenangan atau kesedihan sebagai bahan berlatih untuk menulis puisi, seperti yang  kita ketahui bahwa manusia sebagai mahluk hidup tidak akan luput dari pengalaman. Seperti yang kita ketahui, musik / lagu bisa memberikan efek yang sangat dalam bagi pendengarnya. Bahkan kabar terkini yang telah kita ketahui bersama, bayi dalam kandungan pun bisa dipengaruhi dengan lagu yang diputar dekat dengan perut ibunya. Dengan dasar ini pendidik bisa menggunakan lagu-lagu dan musik (musikalisasi puisi) untuk mengintegrasikan nilai-nilai karakter dalam benak peserta didik.
-          Drama
Pendidik bisa juga menggunakan drama sebagai media untuk melukiskan kejadian-kejadian yang berisikan nilai-nilai karakter. Sehingga secara audio visual serta aplikasi langsung (pementasan drama) menjadikan peserta didik lebih mudah untuk memahami dan menyerap nilai-nilai karakter tersebut. Seperti yang dikatakan oleh Arifin C. Noer dalam buku yang berjudul “Sanggar Sastra” Sumiyadi (2014: 142) “bahwa setiap kali saya berkarya, saya selalu berusaha tulus menulusuri misteri dari ide yang saya dapat dan saya termasuk orang yang percaya bahwa ide dan bentuk merupakan suatu kesatuan organik” Selain itu, tugas-tugas yang bisa dikerjakan dirumah dapat mengambil contoh tentang apa yang dilihat peserta didik di televisi kemudian pendidik akan menjelaskan sekaligus meluruskan nilai-nilai apa saja yang ada dalam film.
-          Novel
Menggunakan novel sebagai media untuk mengungkapkan nilai-nilai atau norma-norma dalam masyarakat melalui diskusi pun bisa digunakan oleh pendidik. Seperti pada teori Lucas dalam buku “sosiologi Sastra” Faruk (2010: 90-91) menyatakan novel sebagai cerita tentang suatu pencarian yang mengalami kemunduran akan nilai-nilai yang dapat dipercaya dilakukan oleh seorang pahlawan yang masih menimbulkan masalah dalam sebuah dunia yang juga mengalami kemunduran. Novel banyak memberikan kisah-kisah yang mampu menjadikan pembacanya berimajinasi dan masuk dalam cerita novel tersebut. Banyak pembaca novel yang terpengaruh dengan isi novel, baik itu gaya berbicara, busana bahkan perilaku tentunya setelah membaca dan memahaminya. Hal ini sangat baik apabila pendidik mampu memasukkan pendidikan karakter untuk bisa mempengaruhi peserta didiknya.
Selain cara-cara di atas masih banyak cara yang lainnya yang bisa digunakan oleh pendidik untuk menyampaikan nilai-nilai dalam pendidikan karakter, namun jangan terlepas dari pemilihan bahan ajar yang tepat. Karena dengan memilih bahan ajar yang tepat, peserta didik akan merasakan kedalaman materi yang membuat mereka menyadari makna kehidupan. Kesadaran itulah yang akan membuat pembelajaran bukan sekadar mengajarkan materi, tetapi juga mendidik.




BAB III
PENUTUP

3.1     Kesimpulan
Pengaruh sastra dalam pembentukan karakter siswa tidak hanya didasarkan pada nilai yang terkandung di dalamnya. Pembelajaran sastra  yang bersifat apresiatif pun sarat dengan pendidikan karakter. Kegiatan membaca, mendengarkan, dan menonton karya sastra pada hakikatnya menanamkan  karakter tekun, berpikir kritis, dan berwawasan luas. Pada saat yang bersamaan dikembangkan kepekaan perasaan sehingga siswa akan cenderung cinta kepada kebaikan dan membela kebenaran.
Pada kegiatan menulis karya sastra, dikembangkan karakter tekun, cermat, taat, dan kejujuran. Sementara itu, pada kegiatan dokumentatif dikembangkan karakter ketelitian, dan berpikir ke depan (visioner).
Tingkat apresiasi sastra masyarakat sangat terkait dengan pengajaran sastra di sekolah. Peran lembaga pendidikan sangat penting untuk menumbuhkan sikap apresiatif terhadap karya sastra sejak dini. Pengajaran sastra harus berjalan dengan baik, agar kemampuan dan sikap apresiatif siswa terhadap karya sastra dapat tumbuh secara sehat.

3.2     Saran
      Melalui pengajaran sastra, diharapkan dapat berperan dalam membentuk karakter  yang positif pada diri siswa. Namun, pembentukan karakter siswa itu tidak akan maksimal, atau bahkan gagal, jika pengajaran sastra gagal menumbuhkan minat baca siswa pada karya sastra, dan mereka tetap tidak memiliki sikap apresiatif terhadap karya sastra.


DAFTAR PUSTAKA

Andyana, Metta. 2014. “Makalah Bahasa Indonesia Pendidikan”. http://mettaadnyana.blogspot.co.id/2014/06/makalah-bahasa-indonesia-pendidikan.html  selasa 20 0ktober  jam 17.42 WITA.
Durachman, Memen dan Sumiyadi. 2014. Sanggar Sastra. Bandung: Alfabeta.
Eneste, Pamusuk.1982. Proses Krearif. Jakarta: Kepustakaan Popular Gramedia.
Fransori, Arinah. 2012. “Hal Ihwal Pengajaran Sastera”. https://nenggelisfransori.wordpress.com/2012/01/25/hal-ihwal-pengajaran-sastra/ selasa 20 oktober 2015 pukul 18.12 WITA.
Pradopo, Rahmat Djoko. 1987. Penkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Ratna, Kutha Nyuman. 2010.  Sastra dan Cultural Studies. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sugono, Dendy dan Alwi Hasan. 2011. Politik Bahasa. Jakarta: Badan Pengembangan Dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan Dan Kebudayaan.
Teeuw, A. 1984. Sastera Dan Ilmu Sastera. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

Wellek, Rene dan Warren Austin. 1989. Teori Kesusatraan. Jakarta: Gramedia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar