TUGAS
KRITIK SASTRA
ROMAN
“SITI NURBAYA (KASIH TAK SAMPAI) ”
KARYA MARAH RUSLI DALAM KAJIAN SOSIOLOGI
SASTRA
OLEH
:
KASMA
1451141004
PROGRAM
STUDI SASTRA INDONESIA
FAKULTAS
BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS
NEGERI MAKASSAR
TAHUN AJARAN 2014/2015
1. Tugas
Analisis Sosiologi Sastra dalam Roman “Siti Nurbaya (Kasih Tak Sampai)” yaitu
bagaimana :konteks sosial pengarang, Sastra sebagai cermin masyarakat, dan
Fungsi sosial karya sastra.
v Bagaimana
konteks sosial pengarang ?
-
Roman “Siti Nurbaya” yaitu : ditinjau dari segi konteks social pengarang
bahwa dalam roman Siti Nurbaya tersebut diangkat dari pengalaman buruk
pengarangnya yaitu Marah Rusli. Marah Rusli kala itu mengalami konflik dengan
keluarganya, ia memilih perempuan sunda untuk menjadi istrinya, namun
keluarganya menyuruh Rusli untuk kembali ke Padang dan menikah dengan perempuan
Minang yang dipilihkan. Marah Rusli bernama lengkap Marah Rusli bin Abu Bakar.
Ia dilahirkan di Padang, Sumatera Barat pada tanggal 7 Agustus 1889 dan meninggal di Bandung pada
tanggal 17 Januari 1968. Pengarang ini telah menamatkan SD di Padang pada tahun
1904 dan menamatkan Sekolah Raja (Hoofdenscool) di Bukit Tinggi pada tahun 1910.
Ayahnya, Sultan Abu Bakar,
adalah seorang bangsawan Pagaruyung dengan gelar
sultan pangeran, sedangkan ibunya berdarah jawa, keturunan Sentot Alibasyah,
seorang panglima perang diponegoro yang ditugaskan oleh belanda ke Minangkabau
untuk menghadapi perang padri, namun kemudian ia membelot dengan membantu
perjuangan rakyat Minangkabau melawan kolonialis Belanda. Marah Rusli mengawini
gadis Sunda kelahiran Bogor pada tahun 1911. Mereka dikaruniai tiga orang anak,
dua orang laki-laki dan seorang perempuan. Perkawinan Marah Rusli dengan gadis
Sunda bukanlah perkawinan yang diinginkan oleh orang tua Marah Rusli, keluarganya
menyuruh Rusli menikah dengan perempuan Minang yang dipilihkan. Tetapi Marah Rusli
kokoh pada sikapnya, dan ia tetap mempertahankan perkawinannya. Oleh sebabnya karena persoalan tersebut,
Marah Rusli menuangkan perasaannya dan menulis sebuah Roman “Siti Nurbaya”
sebagai hasil dari ekspresi kekecewaannya yang mendalam terhadap keluarganya.
Jadi kesimpulannya adalah Roman “Siti Nurbaya” mempunyai relevansi yang sangat
erat antara kehidupan sosial sang pengarang (Marah Rusli) pada masa itu yakni tentang perkawinan paksa.
Marah Rusli meski lebih terkenal sebagai sastrawan, ia
sebenarnya adalah seorang Dokter hewan. Berbeda dengan Taufiq Ismail dan Asrul
Sani yang memang benar-benar meninggalkan profesinya sebagai Dokter hewan
karena memilih menjadi penyair, Marah Rusli tetap menekuni profesinya sebagai
Dokter hewan hingga pension pada tahun 1952 dengan jabatan terakhir Dokter
Hewan Kepala. Kesukaaan Marah Rusli terhadap kesusasteraan sudah tumbuh sejak
ia masih kecil. Ia sangat senang mendengarkan cerita-cerita dari tukang kaba,
tukang dongeng di Sumatera Barat yang berkeliling kampung menjual ceritanya,
dan membaca buku-buku sastra.
v Bagaimana
Sastra sebagai cermin masyarakat ?
-
Pada roman “Siti Nurbaya tidak hanya
melukiskan percintaan saja, juga mempersoalkan poligami, membangga-banggakan
kebangsawanan, adat yang tidak sesuai dengan zamannya, persamaan hak antara
pria dan wanita dalam menentukan jodohnya, anggapan bahwa asal ada uang segala
maksud tentu tercapai. Pada waktu itu tidak ada yang namanya feminisme, acap
kali perempuan selalu dianggap sebagai kaum yang lemah, tidak boleh bersekolah
karena nanti bisa menjadi orang yang jahat karena pandai membaca dan menulis,
sehingga memberi malu, menghabiskan waktu di rumah hanya untuk belajar mengurus
pekerjaan rumah tangga yakni menjahit, memasak, menjaga rumah tangga dan lain
lain. Persoalan-persoalan yang seperti itulah yang tercermin pada masyarakat
zaman dulu.
v Bagaimana
Fungsi sosial karya sastra ?
-
yaitu pengarang ingin mengajak pembaca
untuk memahami isi dari Roman tersebut yaitu pemberontakan sang pengarang.
Bahwasanya sang pengarang dalam hal ini Marah Rusli melihat bahwa adat yang
melingkupnya tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Sesuai dengan
perkataan Ahmad Maulana kepada istrinya Alimah dalam roman tersebut “Hal yang
ganjil ini pada sangkaku, asalnya dari adat zaman dahulu kala, tatkala
perempuan boleh bersuami banyak atau tatkala perkawinan belum teratur benar
sebagai sekarang ini. Tetapi adat itu tiada sesuai lagi dengan keadaan dewasa
ini. Perkara perkawinan pun telah teratur dengan baik, artinya tiap-tiap laki-laki
tentu istrinya dan perempuan tentu pula suaminya, disaksikan oleh orang banyak,
waktu mereka kawin.”
Hal itu melahirkan
pemberontakan dalam hati Marah Rusli yang dituangkannya ke dalam karyanya, Siti
Nurbaya. Ia ingin melepaskan masyarakatnya dari belenggu adat yang tidak
memberi kesempatan bagi yang muda untuk menyatakan pendapat atau keinginannya.
Dalam Siti Nurbaya, telah diletakkan landasan pemikiran yang mengarah pada
emansipasi wanita. Cerita itu membuat wanita mulai memikirkan hak-haknya,
apakah ia hanya menyerah karena tuntutan adat (dan tekanan orang tua) ataukah
ia harus mempertahankan yang diinginkannya.
2. Menilai
dari sudut pandang persfektisme, fungsinya pada zamannya,dan Fungsi roman
tersebut pada Zaman sekarang apa masih relevan atau tidak.
v Bagaimana segi perspektifnya, Roman “Sitti Nurbaya” ?
-
diangkat dari kisah kisah realita masyarakat
pada saat itu atau lebih tepatnya cerminan dari masyarakat minang. Karena roman
yang ada kala itu (angkatan balai pustaka) kebanyakan atau hampir semua
bercerita tentang kawin paksa atau lebih tepatnya terpaksa kawin. Berbeda
dengan Novel-novel atau cerpen zaman sekarang (angkatan 45 atau modern) lebih
banyak bercerita tentang kehidupan-kehidupan modern misalnya kenakalan remaja pergaulan
bebas, kritik terhadap pemerintah, dan kehidupan sosial masyarakat modern.
v Bagaimana fungsi Roman “Siti Nurbaya” pada zamannya,?
-
adalah selain memberikan hiburan kepada
masyarakat pembaca juga merefleksikan realita atau kisah yang hampir nyata
dikehidupan sehari-hari pada waktu itu dengan menyisipkan kisah-kisah khas Adat
minang yang semakin menambah daya tarik roman tersebut.
v Bagaimana
Fungsi Roman “Siti Nurbaya” pada Zaman sekarang ?
-
adalah mengajak pembaca untuk mengikuti liku-liku kehidupan masyarakat
Padang pada masa itu, khususnya kisah cinta yang tak kunjung padam dari
sepasang anak manusia, Siti Nurbaya dan Samsul Bahri. Roman
tersebut juga memberikan kesan kepada pembaca bahwa kawin paksa merupakan suatu
hal yang negatif. Banyak hal-hal negatif yang muncul akibat proses kawin paksa.
Dengan adanya novel tersebut pola pikir masyarakat cenderung berubah. Terutama
dalam segi kehidupan berkeluarga.
Pada zaman itu, masyarakat (terutama kaum ibu) beranggapan bahwa
perkawinan itu merupakan urusan orang tua. Orang tua memiliki kekuasaan
mutlak dalam menentukan jodoh anaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar